Oleh:Suparto Wijoyo*
BERIRING dan
bersinggungan waktu dengan Reuni Akbar 212 di Monas, 2 Desember 2018,
terjadi pemberondongan warga negara yang tengah mengerjakan proyek di
Papua. 1 Desember 2018 di beberapa titik negeri memang tersorot sebagian
orang Papua merayakan inginnya untuk merdeka. Sebuah keinginan saat
mengenang tentang apa yang dinamakan HUT Tentara Pembebasan Nasional
Organisasi Papua Merdeka. 20 orang tewas dan belasan lagi masih perlu
perawatan untuk memulihkan kondisinya yang selamat dengan "aksi
pura-pura mati". Tindakan OPM yang sering didengar sebagai Kelompok
Kriminal Bersenjata jelas dengan terang anti NKRI, anti Pancasila, anti
Persatuan dengan kebhinnekaannya Indonesia, hingga pastilah
terkualifikasi radikal, teroris dan berjuluk kaum separatis. Inilah yang
mestinya ditangani serius untuk dilakukan "pembinaan" agar kembali ke
pangkuan NKRI atau negara bertindak nyata menunjukkan daulatnya dengan
melakukan penumpasan atau bahasa halusnya pembubaran kerumunan
pemberontak.
Teriakan untuk merdeka itu harus
diingatkan kembali atas sikap NKRI selama ini kepada mereka dan
bergabungnya Papua atau Irian Barat kepada Indonesia. Historiografi 1969
memberikan pekabaran telah ditempuhnya jalan demokrasi yang berjuluk
Pepera alias Penentuan Pendapat Rakyat. Pepera ini sehaluan sebagai
referendum untuk menentukan sikap apakah mereka ada dalam dekap kasih
sayang NKRI ataukah tetap di ketiak kolonialisme Belanda. Persiapan yang
dihelat sejak 24 Maret 1969 sampai dengan 24 Agustus 1969 itu dengan
hasil yang diterima PBB melalui Sidang Umumnya tanggal 19 November 1969: menyawijikan diri dengan NKRI.
Dalam lingkup ini warga Irian Barat
resmi memilih untuk bersatu membangun diri bersama-sama dengan
saudara-saudaranya di NKRI. Apalagi di tanah Papua sejak mulanya memang
telah berdiri empat Kesultanan Islam sejak zamannya Kerajaan Samudra
Pasai ataupun Kesultanan Ternate Tidore. Apaliba perspektif ini yang
dijadikan rujukan kebangsaan maka semakin tampak bahwa Papua yang dalam
terminologi kesultanan juga bernama Nuu Waar. Inilah cahaya permulaan
yang memancar dari ujung timur Nusantara.
Kisah-kisah Nuu Waar akan semakin
"membungakan hati" dengan bukti-bukti kesejarahan Islam di Papua
melalui peninggalan yang sangat historis berupa mushaf Alquran yang
tersimpan di Kerajaan Patipi sejak 1224. Menurut keterangan Raja Patipi
ke-16, Islam masuk ke Indonesia abad ke-7 oleh Syekh Abd Rauf, putra
ke-27 dari Syekh Abd Kadir Jailani di Kerajaan Pasai. Pada abad ke-12
Syekh Abd Rauf mengutus Tuan Syekh Iskandar Syah agar melakukan
perjalanan dakwah ke Nuu Waar. Rombongan itu pun tiba pada tanggal 17
Juli 1224 M di Messia atau Mes Kerajaan Patipi.
Biarlah hal ini akan menjadi pengkajian
tersendiri oleh para ahli dengan penanda bahwa di Bumi Cenderawasih
itu terhelat persaudaraan Islam yang menggelora sampai pada akhirnya
penjajahan Belanda merusak tatanan. Bukankah memang sudah sewajarnya
kolonialisme itu melakukan ekploitasi dan penghancuran peradaban
sehingga membentur-benturkan struktur negara dengan Islam yang
sisa-sisanya hingga sekarang ada.
Sikap curiga dan nafsu pecah bela pun
masih saja terjadi sebagai langkah untuk meneguhkan bahwa perjuangan
memang tidak pernah selesai. Oleh karena itulah mencintai NKRI dan
menjaga persatuan itu tidak boleh berhenti sampai kapanpun jua. Itulah
tugas muslim untuk keutuhan Indonesia nan damai. Dan Reuni Akbar 212
yang berlangsung di Monas Jakarta itu secara obyektif telah membuktikan
diri betapa umat Islam sangatlah mencintai negeri ini.
Pesertanya ternilai memiliki tingkat
keilmuan yang mumpuni tentang NKRI sehingga dia jaga seluruh kekayaan
persatuan negeri ini. Keragaman sesama warga negara, dan tuntutan
mereka tidak disuarakan dengan "radikal" atas rasa perih yang dirasakan
selama ini, karena masih percaya bahwa penguasa memiliki nurani untuk
merenungkan arti dirinya. Apa sejatinya yang sedang terjadi sehingga
puluhan juta orang bisa terpanggil untuk rela berkumpul dengan modal
hasil menabung sejak setahun lalu sebagaimana dilakukan, sebut saja Kang
Mamat Becak dan Cak Jamal Roti dari Jawa Timur. Mereka berdua berangkat
dengan sangu dari hasil mbecak yang ditabung hasil mbecak dan jualan roti, hanya dengan satu tekad ingin berkumpul sedulur.
Subhanallah luar biasa semua
itu. Namun oleh media-media besar atau yang merasa besar hal itu
dilihat penuh sinisme. Mereka tidak meliput secara proporsional,
melainkan jumawah dengan memblokade tidak menghiraukan sebagaimana
mestinya. Ada semacam "gerakan congkak" dari tivi dan koran seakan-akan
berjuta orang itu dianggap tidak bermakna apa-apa bagi negara sehingga
tidak pantas untuk diliput melalui media mereka.
Tivi dan koran mereka dinilai "akal
waras" telah memblokade Reuni Akbar 212. Suatu pemblokadean yang justru
membuka kesejatian dirinya yang takluk kepada kehendak yang tidak
obyektif. Inilah potret media yang menihilkan karakter jurnalistik
sejati. Suara dada dirinya terkuak betapa mereka sejatinya tidak
simpatik dengan berkumpulnya jutaan orang yang penuh cinta sehingga
rumput saja tidak terusik karenanya, serta sampah-sampah tidak ada yang
berserakan.
Reuni ini menunjukkan kelasnya sebagai
pembangun peradaban hebat yang saya saksikan. Monas selaksa Padang
Arafah yang setiap jiwa menunduk menyujudkan diri hanya kepada-Nya.
Inilah festival kebangsaan atas nama iman dan kemanusiaan dalam
berbangsa dengan lantunan doa penuh hikmah. Sementara media yang tidak
tersentuh untuk meluangkan "ruh jurnalistiknya" sejatinya sedang
membangun karakter sekadar berhala peminta berkah kekuasaan semata.
Itulah yang terekam dan medsos tampil sebagai "jurnalis yang mengalirkan
berita selaksa air bah kejujuran": memberitakan apa adanya, dan bukan
mewartakan yang ada apa-apanya.
* Kolomnis, Akademisi Fakultas
Hukum, dan Koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah
Pascasarjana Universitas Airlangga
Penulis: Haikal
Sumber: duta.co