Yang paling menonjol adalah Kementerian PUPR, Kementerian BUMN, Kementerian Sosial, dan Kementerian Desa dan Transmigrasi. Trilyunan rupiah dana digelontorkan untuk bantuan sosial demi mendongkrak elektabilitas Jokowi.
Kementrian Agraria mendapat tugas menyiapkan sertifikat gratis untuk warga. Secara demonstratif langsung dibagikan sendiri oleh Jokowi. Banyak status tanahnya tidak jelas dan berpotensi mengundang konflik agraria di masa depan.
BUMN-BUMN dipaksa bekerja keras menjalankan penugasan membangun infrastruktur. BUMN Karya seperti Waskita, Adhi Karya, Wika dll harus putar otak membiayai proyek infrastruktur. Mereka mempertaruhkan asetnya dan berutang pada bank.
Akibat monopoli proyek infrastruktur oleh BUMN, puluhan ribu kontraktor swasta gulung tikar. Gapensi mencatat dari 70-80 ribu anggotanya, kini tinggal 35 ribu kontraktor. Tinggal hitung berapa banyak pengangguran baru tercipta.
BUMN seperti Pertamina dipaksa menanggung beban satu harga dan menahan laju kenaikan BUMN demi citra yang populis.
Dana-dana CSR BUMN dikuras habis untuk mengelola dukungan dari ormas dan kelompok-kelompok masyarakat. Ada kabar dana CSR sejumlah BUMN tahun 2019 ditarik ke depan dan harus habis sebelum bulan April, saat pilpres berlangsung.
Di masa Jokowi ketahanan pangan juga hanya menjadi mimpi. Janjinya pada Pilpres 2014 membuat swasembada, dan menghapus impor pangan, tinggal janji. Hampir semua kebutuhan pokok diimpor. Beras, jagung, bawang, gula, daging sampai garam, semua diimpor. Setidaknya ada 29 daftar impor pangan Indonesia. Tak salah muncul julukan Indonesia sebagai negara surganya impor.
Merit system terutama di lingkungan TNI dan Polri tidak berjalan dengan baik. Penunjukkan seorang pejabat tidak didasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar.
Yang paling banyak mendapat sorotan adalah pengangkatan Jenderal TNI Andika Perkasa sebagai KSAD, dan Mayjen Maruli Simanjuntak sebagai Komandan Paspampres.
Dua perwira ini mendapat jalur cepat kenaikan pangkat dan jabatan, mendahului teman satu angkatan dan melewati para seniornya yang nota bene punya catatan prestasi lebih baik.
Andika andalah menantu Hendropriyono dan Maruli adalah menantu Luhut Panjaitan. Dua pensiunan jenderal ini dikenal sebagai orang dekat Jokowi. Luhut bahkan merupakan tangan kanannya.
Sebelumnya pengangkatan Marsekal TNI Hadi Tjahjanto sebagai KSAU dan kemudian menjadi Panglima TNI juga menimbulkan ketidakpuasan di kalangan internal TNI. Hadi kenal dekat dengan Jokowi ketika dia menjadi Dan Lanud Surakarta, saat Jokowi menjadi Walikota Solo.
Di kepolisian Jokowi juga mengangkat Tito Karnavian sebagai Kapolri melompati empat angkatan di atasnya. Jokowi harus bekerja keras mencari posisi lain bagi para senior Tito agar dia bisa mengkosolidasikan komando di tangannya.
Dampak dari lompat angkatan ini selain menimbulkan ketidakpuasan di lingkungan internal, juga acakadutnya jenjang karir para perwira.
Prabowo-Sandi harus bekerja keras menata kembali jenjang karir dan sumber daya di lingkungan TNI serta mengembalikan mereka sebagai prajurit yang profesional. Prajurit TNI harus dijauhkan dari godaan untuk kembali ke dunia politik praktis dan power game.
Penegakan hukum. Hal ini juga menjadi masalah besar yang harus ditata ulang. Kejaksaan Agung di masa Jokowi diserahkan kepada kader parpol pendukungnya. Lembaga ini ditengarai oleh para pengamat, termasuk para pengamat asing seperti Tom Power dari Australian National University (ANU) sebagai alat menyandera lawan politiknya.
Polisi juga banyak dituduh sebagai alat kekuasaan yang tebang pilih. Situasi ini menimbulkan ketidaknyamanan di lingkungan para perwira yang profesional, dan juga memperburuk citra polisi di tengah masyarakat.
Kebebasan media memasuki tahap yang sangat menyedihkan pada masa Jokowi. Para pemilik konglomerasi media menjadi pendukung atau bergabung menjadi timses Jokowi. Sementara yang lain dikooptasi dengan berbagai cara.
Prabowo-Sandi harus mengembalikan posisi media sebagai anjing penjaga (watchdog) demokrasi. Dia harus menggonggong kepada siapapun yang mengancam kebebasan dan demokrasi, terlebih jika itu dilakukan oleh penguasa.
Media harus dikembalikan jati dirinya sebagai pilar keempat (the fourth estate) demokrasi. Media adalah kontrol pemerintah. Bukan alat pemerintah untuk menekan oposisi.
Kebebasan dan mimbar akademis di kampus-kampus juga harus dikembalikan. Banyak muncul keluhan kampus, khususnya para pimpinan perguruan tinggi menjadi alat menekan suara kritis dari kalangan civitas akademika.
Pekerjaan rumah (PR) yang menggunung itu akan menjadi agenda besar yang harus diselesaikan Prabowo-Sandi bila mereka terpilih. Masih banyak agenda-agenda besar lain yang harus dikerjakan.
Kerusakan yang dibuat oleh Jokowi sangat luas dan sistemik. Perlu kerja keras bersama, ketulusan, dan menempatkan kepentingan semua anak bangsa diatas kepentingan golongan, kelompok, maupun afiliasi politik.
Prabowo-Sandi tidak boleh mengulang kesalahan yang dilakukan Jokowi. Jangan sampai pilpres hanya menjadi ajang ritual kesalahan berjamaah dalam memilih seorang pemimpin. Kesalahan yang berulang akan memunculkan pertanyaan besar tentang arah dan masa depan demokrasi yang sedang kita bangun.
Bangsa Indonesia harus kembali menjadi satu, bersatu padu, satu rasa, satu hati menghadapi problem besar pasca Jokowi. Sudah waktunya kita bersiap menghadapi masa depan yang lebih baik. End