Artikel

Ternyata PNS Wanita Boleh Jadi Istri Kedua,Ini Syaratnys

pesisirnews.com pesisirnews.com
Ternyata PNS Wanita Boleh Jadi Istri Kedua,Ini Syaratnys

Ilustrasi pernikahan

PESISIRNEWS.COM -Diatur sangat ketat pernikahan di lingkungan Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Negeri Sipil (PNS) diatur sangat ketat.


Timbul pertanyaan apakah seorang PNS baik itu pria atau wanita bolehkah menikah lebih dari satu kali?

Ternyata ada syarat dan sanksi yang melekat pada seorang PNS akan menikah terutama jika akan menjadi istri kedua.

PNS wanita yang menjadi istri kedua maka ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi sesuai dengan peraturan pernikahan PNS.


Peraturan pernikahan PNS termasuk tentang PNS wanita menjadi istri kedua diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Sipil.


Syarat PNS wanita menjadi istri kedua


Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 disebutkan bahwa PNS wanita tidak diizinkan untuk menjadi istri kedua/ ketiga/keempat dari Pegawai Negeri Sipil.

Namun PNS wanita yang akan menjadi istri kedua/ketiga/keempat dari bukan PNS, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.


Sementara itu, dalam PP No.10 Tahun 1983 diatur ketentuan bahwa izin bagi PNS wanita untuk menjadi istri kedua/ketiga/ keempat, hanya dapat diberikan oleh Pejabat apabila :


Ada persetujuan tertulis dari istri bakal suami.

Bakal suami mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang istri dan anak-anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan.

Ada jaminan tertulis dari bakal suami bahwa ia akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.


Izin bagi PNS wanita untuk menjadi istri kedua/ketiga/ keempat, tidak diberikan oleh Pejabat apabila:


Bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut oleh PNS wanita yang bersangkutan atau bakal suaminya.

Tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud.

Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan.

Menikah siri merupakan pernikahan yang sah secara agama namun tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA).

Meski demikian, pernikahan siri atau menikah di bawah tangan ini dinilai sering merugikan pererempuan.


Praktiknya juga dinilai masih sering dijumpai di tengah masyarakat sekitar kita.

Dampak negatif dari pernikahan siri antara lain, ketika terjadi sesuatu hal di kemudian hari dalam rumah tangga tersebut, perempuan tidak memiliki kekuatan hukum untuk menggugat atau menuntut hak-haknya sampai hak perdata anak hasil dari pernikahan siri.


Demikian disampaikan Kasi Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama (Kemenag) Pangkalpinang, Firmantasi.

"Nikah sirih ini tidak diatur dalam Undang-Undang, bahkan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan," kata Firmantasi, Senin (17/02/20)

Menurut Firman, jika di kemudian hari terdapat masalah yang berakibat pada keinginan sang istri untuk meminta perpisahan, suami memiliki hak tolak menceraikan.


Firman melanjutkan, tujuan pernikahan yang dilakukan secara sah agama dan juga KUA adalah agar tidak ada pihak merasa dirugikan di kemudian hari.

"Sahnya pernikahan adalah sah berdasarkan syariah agama maupun secara hukum," ujar Firman.


Jika dalam suatu kondisi seorang istri yang dinikahi secara siri ingin menikah lagi karena ditelantarkan oleh sang suami, maka pernikahan tersebut tidak bisa dilakukan lantaran masih terikat pada suami sebelumnya.

"Maka dari itu, hendaknya seorang perempuan menghindari yang namanya pernikahan siri jika tak ingin hal-hal yang merugikan menimpanya," Kata Firman.


Nikah Siri Menurut Pengadilan Agama

Terpisah, Hakim di Pengadilan Agama Kota Pangkalpinang, Muhamad Syarif, S.Hi, M.A, mengatakan ada sejumlah ketentuan mengenai pernikahan di Indonesia.

"Dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan tertulis pada Bab I dasar perkawinan pasal 2 ayat 2, Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku," kata Syarif.

Dia melanjutkan, seorang anak yang sah menurut undang-undang adalah hasil dari perkawinan yang sah.

Hal ini tercantum dalam UU No.1 tahun 1974 tentang Pernikahan, Pasal 42 Ayat 1: Anak yang sah adalah anak-anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.


Lebih jauh, dia mengatakan, dalam beberapa kasus tentang hak anak hasil nikah siri terdapat kesukaran dalam pengurusan hak perdata seperti nafkah, warisan, maupun akta kelahiran.

Meski demikian secara agama status anak dari hasil nikah siri itu mendapatkan hak yang sama dengan anak hasil perkawinan sah.


Tetapi hal ini tidak selaras dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Dikarenakan status dari anak nikah siri, tidak tercatat oleh negara, maka status anak dikatakan di luar nikah.

"Hal ini dinyatakan dalam UU No.1 Tahun 1974 Pasal 43 Ayat 1: Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya," ujar Syarif.

Syarif juga menjelaskan, saat ini nikah siri di kalangan masyarakat sudah memiliki perluasan makna.

Artinya, nikah siri itu dikatakan tidak melanggar secara syariah, jika satu pasangan menikah secara siri dan benar tidak memiliki pasangan satu sama lain.


"Tetapi jika antara satu atau masing-masing masih memiliki pasangan itu bukan nikah siri, tapi namanya Zinah," ungkap Syarif. (Bangkapos).


Penulis: pesisirnews.com