Hukrim

Habis Ahmad Dhani, Gus Nur Dibidik, "Tembak"Musuh Pakai Pasal Karet UU ITE?

Pesisirnews.com Pesisirnews.com
Habis Ahmad Dhani,  Gus Nur Dibidik, "Tembak"Musuh Pakai Pasal Karet UU ITE?
JAKARTA-PESISIRNEWS.COM,Para tokoh di kubu capres cawapres nomor 2 Prabowo Subianto -Sandiaga Salahuddin Uno satu per satu dijebloskan ke penjara. Benarkah ini indikasi kuat bahwa mereka sengaja dibungkam agar kekuatan Prabowo -Sandi semakin melemah menjelang Pilpres April mendatang dan petahana bisa melenggang menang?.


"Ya, rakyat melihat ini balik ke zaman Orde Baru. Dulu ada pasal subversif yang digunakan Orde Baru membungkam tokoh kritis. Apa Jokowi meniru Pak Harto dulu? Wallahu a'lam, biar rakyat menilai. Nanti kalau rakyat mengatakan Jokowi memakai pasal karet UU ITE, pasti rakyat gak mencoblosnya di Pilpres. Ini juga bisa jadi bumerang bagi Jokowi," kata Suhandayana, warga Tanah Abang, Jakarta Sabtu 9 Februari 2019 pagi.


Dia lalu memberi contoh kasus Habib Rizieq Shihab, bahkan dulu Rachmawati Soekarnoputri, Buni Yani, Ahmad Dhani, sekarang Dahnil Anzar Simanjuntak dan Gus Nur.


"Kalau faktanya seperti itu, terus gimana mau mengelak?" katanya lagi.


Saat ini, setelah Ahmad Dhani, Gus Nur memang dibidik. Dahnil jubir BPN Prabowo-Sandi. Gus Nur juga pendukung Prabowo-Sandi yang sering ceramah jangan pilih Jokowi. Kini Gus Nur disebut-sebut hendak "diahmad-dhanikan." Benarkah? Sejumlah kalangan membaca gelagat itu.


Apalagi Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM dikabarkan juga melakukan penarikan sementara paspor milik pria bernama asli Sugi Nur Raharja itu. Diduga kuat paspor Gus Nur ditarik sementara karena ia berstatus tersangka.


Sejumlah pihak pun meminta Ditjen Imigrasi untuk meninjau kembali kebijakan itu.


"KUHP tidak mengatur adanya kewajiban untuk menarik paspor sementara bagi orang dengan status tersangka," demikian pernyataan hukum Lembaga Bantuan Hukum Pembela Islam Terpercaya-Umat (LBH Pelita Umat) yang diterima redaksi, Sabtu (9/2). Surat pernyataan hukum ditandatangani Eggi Sudjana, Ahmad Khozinudin dan Chandra Purna Irawan.


Gus Nur berstatus tersangka di Polda Sulawesi Tengah (Sulteng) dengan tuduhan melanggar Pasal 28 ayat 2 Junto Pasal 45 ayat 2 UU ITE dengan ancaman pidana 6 tahun. Menurut mereka, keputusan penyidik Polda Sulteng tidak melakukan penahanan menunjukkan tidak ada kekhawatiran Gus Nur akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan/atau mengulangi tindak pidana.


Selain itu, ditegaskan dalam surat pernyataan hukum itu, selama ini Gus Nur kooperatif dan taat menjalani proses hukum menghadapi tiga kasus hukum sekaligus, yakni di Polda Sulteng, Polrestabes Surabaya dan Polda Jatim.


"Karenanya sangat tidak beralasan Gus Nur yang dinilai kooperatif oleh penyidik tetapi paspornya ditarik sementara," masih tertulis dalam surat pernyataan hukum itu.


Sebaliknya, menurut mereka, penarikan paspor bertentangan dengan ketentuan Pasal 28E ayat 1 UUD 45 yang antara lain menyatakan setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Sebab, penarikan paspor tersebut telah menghalangi hak beribadah Gus Nur untuk melaksanakan agenda dakwah di Australia dan ibadah umroh ke kota suci Mekkah.


"Kami meminta Ditjen Imigrasi untuk mengaktifkan kembali paspor Gus Nur. Jika tidak segera dilakukan maka Ditjen Imigrasi berpotensi melanggar Konstitusi," demikian bunyi pernyataan hukum LBH Pelita-Umat.


"Sebelumnya mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak juga diperiksa polisi. Namun bukan terkait UU ITE. Dahnil diperiksa sebagai saksi kasus dugaan korupsi kegiatan kegiatan kemah Pemuda Islam Indonesia 2017. Dia pun menilai pemeriksaan itu sebagai sesuatu yang dicari-cari dan merupakan konsekuensi sikapnya mengkritik pemerintah.


"Yang jelas saya sejak awal paham betul konsekuensi dari sikap saya mengkritik pemerintah. Termasuk terhadap pihak aparatur keamanan. Jadi kemudian sekarang gak tahu dicari-cari apa, nanti kita lihat masyarakat yang akan menilai," kata Dahnil di Mapolda Metro Jaya.

Dahnil menambahkan, kegiatan kemah yang digelar di pelataran Candi Prambanan, Jawa Tengah pada 16-17 Desember 2017 itu diinisiasi Kementerian Pemuda dan Olah Raga (Kemenpora) Republik Indonesia dan melibatkan Pemuda Muhammadiyah dan GP Ansor.


"Tapi anehnya cuma kami yang diperiksa dan dicari-cari. Yang kedua, saya paham sekali ini konsekuensi dari sikap saya selama ini. Jadi udah dicari-carilah. Tapi nanti kita lihat pemeriksaannya bagaimana, kita tunggu saja," kata dia.

UU ITE Harus Direvisi

UU ITE sendiri banyak meminta korban.


Karena itu Cawapres Sandiaga Uno menugaskan tim khusus untuk mengkaji penerapan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pengkajian dilakukan untuk mengidentifikasi aturan yang dinilai Sandiaga sebagai pasal karet.


"Kami sekarang mulai menugaskan tim menelusuri UU ITe tersebut dan mengidentifikasi pasal-pasal karet, sudah mulai pembicaraannya," ujar Sandiaga kepada wartawan di SMA Pangudi Luhur, Jalan Brawijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu (2/2/2019).


Tim disebut Sandiaga sudah bekerja sejak Jumat (1/2) dengan meneliti satu per satu pasal dalam UU ITE. Sandiaga mengatakan pengkajian pasal penting agar hukum digunakan objektif.


"Kita harus membentengi diri kita sendiri pada kemungkinan-kemungkinan menggunakan produk hukum untuk dipakai untuk melanggengkan kekuasan dan sebagainya. Jadi buat kita, kita nggak usah komentar produk dan proses hukumnya, tapi akar hukumnya kan ada di UU sendiri.


Jadi DPR yang baru terpilih kita langsung ajak bicara ini untuk kebaikan kita semua," paparnya. Bila terpilih pada Pilpres 2019, kajian UU ITE akan dibicarakan dengan anggota DPR terpilih.


Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddiqie setuju ada evaluasi atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).


Sebab, pasal karet pada UU ITE telah banyak memakan korban.

"UU ITE itu harus dievaluasi kembali, bahkan ini jadi mirip pasal-pasal karet dan UU Subversif. Masa ujaran kebencian yang di-forward ke orang lain, itu orang (yang menyebarkan) juga kena. Apalagi sesudah kasus Buni Yani dan sekarang Ahmad Dhani," tutur Jimly di Kantor ICMI, Jakarta Selatan, Senin, 4 Februari 2019.


Jimly mengaku semula UU ITE dianggap menjadi solusi untuk membatasi kebebasan berekspresi dan berpendapat di media massa. Namun, belakangan undang-undang itu menjadi masalah bagi kehidupan demokrasi Pancasila di Indonesia.


"Mungkin memang mereka salah, tapi masa semua masalah itu pakai pendekatan hukum pidana. Bisa-bisa semua jadi masuk penjara," kata dia. Nyatanya, ujaran kebencian dan penyebaran informasi di media massa tidak bisa dibatasi dengan UU ITE. Jimly mengimbau untuk mencari kontrol solutif terkait permasalahan itu.


"Hanya karena perbedaan pendapat malah mencoreng demokrasi Pancasila kita sendiri. Jangan pakai pendekatan hukum pidana, baiknya evaluasi saja pasal-pasal yang sifatnya pasal karet di UU ITE. Atau bisa melalui legislatif preview di Mahkamah Konstitusi (MK)," ujar Mantan Ketua Umum MK itu.


Pasal 27 ayat 3 UU ITE kerap disebut sebagai pasal karet. Pasal itu yakni: melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.


Para Korban Bicara

Paguyuban Korban Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik juga mendesak pemerintah menghapus seluruh pasal karet dalam UU ITE.


Koordinator Paguyuban Korban UU ITE, Muhammad Arsyad, menilai UU ITE banyak digunakan untuk memberangus kebebasan berpendapat dan membungkam kritik jika dilihat dari timpangnya relasi kuasa antara pelapor dan terlapor. "Banyak pelapor yang berasal dari kalangan pejabat, aparat, dan pemodal," kata Arsyad seperti dilansir keterangan tertulis, Senin, 5 November 2018 lalu.


Arsyad mencontohkan kasus Ervani dari Yogyakarta yang dilaporkan oleh pimpinan perusahaan tempat suaminya bekerja. Dia dilaporkan karena menulis tentang kapasitas kepemimpinan pejabat perusahaan tersebut.


Arsyad menuturkan, pola pemidanaan kasus UU ITE dilakukan dalam bentuk balas dendam, barter kasus, membungkam kritik, shock therapy dan persekusi kelompok. Rudy Lombok, misalnya, dilaporkan oleh Badan Promosi Pariwisata Daerah NTB karena menemukan dugaan penyalahgunaan anggaran dan rekening pribadi di badan tersebut. Korban lainnya yaitu Ichwansyah di Yogyakarta, diancam dengan UU ITE karena memperjuangkan hak-hak pekerja.


Menurut Arsyad, dalam prosesnya banyak terjadi intimidasi berupa penahanan di saat status korban masih sebagai saksi. "Bahkan tiba-tiba berstatus tersangka padahal korban tidak pernah diminta keterangan," ujarnya.


Melihat kondisi tersebut, Paguyuban Korban UU ITE menilai penghapusan pasal karet sangat penting. Arsyad ingin kriminalisasi menggunakan beleid itu harus dihentikan. Masyarakat harus diberikan kebebasam berekspresi dan berpendapat sesuai amanat konstitusi.


Arsyad juga melihat kebutuhan untuk membentuk suatu wadah bagi korban UU ITE. Wadah ini berfungsi sebagai support group, advokasi, dan pengorganisasian. "Apalagi menuju tahun politik korban UU ITE semakin bertambah dan pembungkaman kritik oleh pemerintah semakin massif," katanya.


UU ITE pertama kali diundangkan pada 2008. Berdasarkan catatan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), terdapat sekitar 381 korban yang dijerat dengan UU ITE khususnya pasal 27 ayat (3) dan pasal 28 ayat (2) hingga 31 Oktober 2018.


Sembilan puluh persen di antaranya dijerat dengan tuduhan pencemaran nama baik, sisanya dengan tuduhan ujaran kebencian