Nasional

Arief Budiman Dipecat dari Ketua KPU, Pakar Pidana: Dalil DKPP Multi Interprestasi


Arief Budiman Dipecat dari Ketua KPU, Pakar Pidana: Dalil DKPP Multi Interprestasi

Arief Budiman. (Kredit Foto via Suara.com)

JAKARTA, Pesisirnews.com - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Arief Budiman dipecat Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) karena dinilai melanggar kode etik dan tidak menghargai penyelenggara pemilu.

Pemecatan Arief Budiman terkait pendampingannya terhadap komisioner KPU Evi Novida Ginting menggugat surat keputusan Presiden. Selain itu, Arief dinyatakan bersalah karena tetap menjadikan Evi Novida komisioner KPU.

Arief Budiman dinilai melanggar kode etik dan dinyatakan tidak pantas menjadi Ketua KPU. DKPP juga menilai sikap Arief Budiman terkesan mendukung perlawanan terhadap DKPP.

"Sikap dan tindakan teradu tersebut bertentangan dengan kode etik bahwa setiap penyelenggara pemilu wajib menghargai sesama lembaga penyelenggara pemilu sesuai dengan pasal 157 ayat 1 UU No 7 tahun 2017. DKPP memiliki mandat untuk menjaga integritas, kemandirian dan kredibilitas penyelenggara pemilu. Ketentuan tersebut mempunyai makna bahwa pelaksanaan tugas DKPP memeriksa dan memutus dengan pelanggaran kode etik bertujuan menjaga kehormatan lembaga penyelenggara pemilu dari perilaku individu yang terbukti mereduksi atau menghancurkan kemandirian dan kredibilitas institusi diberi sanksi agar kepercayaan publik terhadap pemilu dapat terjaga,"," demikian bunyi penggalan putusan DKPP yang dibacakan Ketua DKPP Muhammad, Rabu (13/1/2021)

"Teradu terbukti tidak mampu menempatkan diri pada waktu dan tempat di ruang publik karena di setiap kegiatan teradu di ruang publik melekat jabatan Ketua KPU," lanjutnya.

Dilansir dari detik.com, Kamis (14/1/2021), pakar hukum pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad, menilai dalil DKPP multi interprestasi.

"Dalam perkara ini DKPP menyatakan ketua KPU melanggar pasal 157 ayat 1 yang pada pokoknya tidak menghargai sesama penyelenggara pemilu. Dalil DKPP tersebut multi interprestasi," ucap Suparji kepada detikcom, Rabu (13/1/2021).

Menurutnya, tafsir 'menghargai' kurang terukur. Suparji menjelaskan sikap menjalankan putusan pengadilan merupakan kewajiban setiap warga negara, sehingga kriteria patut atau tidak patut menjadi subjektif.

"Dalam konteks ini, ada unsur kecenderungan subjektif karena putusan tersebut menyatakan ybs tidak menghargai putusan dari lembaga yang memutuskan sebelumnya. Ini ibaratnya jeruk makan jeruk," tutur Suparji.

"Karena ternyata ada unsur superioritas lembaga. Putusannya harus ditaati tanpa ruang untuk mengajukan keberatan dan jika ternyata ada pendampingan terhadap upaya untuk keberatan yang dikabulkan dikualifikasikan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu," lanjutnya.

Halaman :
Penulis:

Editor: Anjar