Opini

Gairah Ilmu, Harapan Mendulang Masa Depan


Gairah Ilmu, Harapan Mendulang Masa Depan

Ilustrasi: (MEGAPIXL)

Oleh: Suhendrizal Tambusai, S.Sos

Pesisirnews.com - Sebagai bangsa, kita rasanya patut bersyukur karena sekarang kesadaran warga bangsa untuk memberikan tingkat pendidikan yang tinggi kepada anak-anaknya semakin meningkat. Walau pun kondisi ekonomi orangtua, katakanlah pas-pasan, namun mereka tetap berharap anaknya mampu meraih gelar sarjana hingga mencapai jenjang pendidikan tertinggi.

Prestasi siswa-siswi kita dari waktu ke waktu juga semakin bertambah baik. Ini dibuktikan dengan pencapaian mereka yang patut dibanggakan di berbagai ajang kompetisi Olimpiade Ilmu Pengetahuan, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah hingga ke ajang Olimpiade Ilmu Pengetahuan di tingkat internasional.

Tetapi yang menjadi persoalan, ketika mereka telah meraih gelar sarjana, banyak anak-anak Indonesia ternyata tidak berpeluang bekerja sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka tempuh sewaktu duduk di bangku universitas / Perguruan Tinggi.

Tak sedikit kita temui mereka justru bekerja di sektor-sektor yang sebenarnya tidak linear dengan disiplin ilmu yang mereka pelajari di bangku akademis.

Ketika mereka diterima bekerja, katakanlah disebuah perusahaan yang bergerak di sektor indutri, kebanyakan dari mereka hanya menjadi tenaga kerja yang unskill.

Ini tentu berpengaruh dengan upah yang mereka dapatkan dibandingkan dengan upah tenaga kerja yang lebih terampil. Meski pun secara akademis mereka terkategori sebagai pekerja berpendidikan tinggi.

Problematika lain yang dapat membentuk kualitas mereka menjadi tidak semakin baik, misalnya mereka bekerja di sektor pekerjaan yang bergaya “salon”, yang mana sektor seperti ini lebih mengedepankan segi tampilan dan kemasan dibanding dengan substansi dari pekerjaan itu sendiri.

Mereka hanya menjadi ‘alat’ pajangan sebuah produk ketimbang mereka menguasai bagaimana sebuah produk itu diproduksi, yang nantinya bisa menjadi bekal bagi mereka untuk berinovasi dan menciptakan produk sejenis yang mungkin secara kualitas menjadi lebih baik.

Jika mereka menjadi ketergantungan dengan pekerjaan yang serba ‘salonista’ itu, dan tidak ada ruang bagi mereka untuk menjadi seorang enterpreneurship, ini tentu akan membuat kemampuan berkompetisi tenaga kerja kita menjadi semakin tidak kompetitif.

Bagaimana Sebaiknya?

Secara kasat mata kita dapat melihat bagaimana negara-negara maju terus ‘memanjat langit’ ilmu pengetahuan dan teknologi yang membuat negara-negara maju itu menjadi semakin maju.

Kemajuan peradaban dari negara-negara maju alangkah baiknya menjadi refleksi bagi negara kita untuk melihat sudah sejauh apa negara kita tertinggal dari negara-negara maju itu.

Menurut penulis, diantara aspek yang membuat negara kita akan mampu mengejar ketertinggalan tersebut adalah melalui penguatan sistem pendidikan dan penguatan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia.

Penguatan generasi penerus bangsa agar menjadi terampil, cerdas dan mandiri dapat terbentuk apabila sistem pendidikan kita semakin mengarah pada kemampuan menciptakan tenaga kerja terampil dan kompetitif di masa mendatang.

Melalui sistem pendidikan yang baik dan komprehensif, anak-anak di didik tidak hanya disiapkan untuk memenuhi kebutuhan lapangan kerja, tetapi mereka juga mampu menjadi enterpreneurship yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan.

Orientasi gelar sarjana yang diraih untuk menjadi seorang PNS juga harus ditepis dari pikiran anak-anak muda kita yang tengah menimba ilmu di berbagai universitas / Perguruan Tinggi.

Ketika negara membutuhkan pengabdian mereka sebagai PNS maka proses rekruitment juga harus ditingkatkan transparansi dan akuntabilitasnya. Dengan demikian, ketika mereka diterima menjadi seorang PNS maka totalitas dan kredibilitas mereka sepenuhnya dapat diandalkan sebagai pelayan masyarakat yang jujur, bersih dan amanah.

Tidak ada Segala Bentuk Politisasi dan Intervensi Politik di Kampus-kampus

Kampus selain sebagai tempat menimba ilmu bagi para mahasiswa juga merupakan Kawah Candradimuka bagi mereka untuk belajar dinamika politik kebangsaan.

Nah, yang perlu dihindari itu adalah menyusupkan berbagai kepentingan politik praktis yang kemudian membuat mereka menjadi ‘politisi kampus’ ketimbang menjadi kaum intelektual dengan cara berpikir yang independen dan berpihak pada rasa keadilan masyarakat secara menyeluruh.

Jujur, kita tidak dapat menafikan bagaimana ‘intervensi’ politik telah cukup lama masuk ke dunia akademis yang idealnya sebagai tempat untuk menuntut ilmu.

Akibatnya, independensi calon-calon kaum intelektualitas muda ini terdistorsi oleh berbagai kepentingan politik praktis.

Kepolosan mereka lantas dijadikan alat oleh berbagai pihak yang berkepentingan secara politis untuk menyuarakan segala kepentingan politiknya yang dikemas atas nama kepentingan masyarakat.

Mereka pun terjebak ke dalam politik transaksional di mana ada ‘harga’ yang mereka terima dari pihak-pihak yang memanfaatkan mereka.

Jika sircle-nya terus begini maka mungkin ‘kematangan sosial’ [social maturation] bangsa ini akan berada di frase yang semakin rendah.

Kita tentu tidak ingin jargon “Indonesia Hebat” yang selalu kita dengung-dengungkan sesungguhnya tak lebih dari sebuah jargon semata.***

Tentang Penulis:

Penulis adalah alumni Universitas Riau yang kini bermastautin di Jakarta. Selain bekerja sebagai konsultan pajak di Jakarta, penulis juga pemerhati masalah sosial kemasyarakatan. Ketertarikannya pada problematika sosial telah banyak penulis tuangkan melalui tulisan di blog pribadinya.

(Disclaimer: Kiriman tulisan yang dimuat di Pesisirnews.com semua isinya merupakan tanggung jawab dari penulis)

Penulis:

Editor: Anjar