Politik

Biaya Pilkada Lewat DPRD Lebih Murah? Belum Tentu


Biaya Pilkada Lewat DPRD Lebih Murah? Belum Tentu
(Dari kiri ke kanan) Wakil Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Girindra Sandino, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima), Ray Rangkuti, Pegiat So
JAKARTA, PESISIRNEWS.com – Rohaniawan dan pegiat sosial, Romo Benny Susetyo meragukan bahwa pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui DPRD akan lebih murah seperti diargumenkan Koalisi Merah Putih (KMP) selaku pengusung Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada ke DPR RI.


Menurut dia, jika melalui DPRD tentu partai-partai akan pasang harga. Setidaknya ada tiga alasan yang disebutkan anggota badan pengurus Setara Institute itu.


“Dampaknya pertama, tidak mendapat pemimpin berkualitas, kedua, terjadi korupsi birokrasi, ketiga, partai akan mendominasi sementara tidak ada kontrol publik maka partai akan memilih orang yang bisa disetir, kemudian berakibat pada rusaknya demokrasi kita,” urai Romo Benny saat memberika keterangan pers di Menteng Huis, Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (19/9).  


Romo Benny meyakinkan, Koalisi Jokowi-JK tidak perlu takut, karena sekarang di parlemen itu tidak ada dominasi partai, karena parlemen pun sekarang membaca realitas masyarakat. Jadi ada tiga kekuatan yaitu, pertama media massa dan kedua aspirasi rakyat (kelompok-kelompok yang menolak pilkada lewat DPRD), kemudian kekuatan ketiga yaitu partai yang akan mengikutinya.


Peran media massa dan aspirasi masyarakat sangat penting, karena selama ini sudah sangat kritis. Bahkan, dikatakan Romo Benny kedua elemen demokrasi itu seperti menjadi pemutus kata yang membuat para elit politik (partai, Red) takut.


Seperti apa yang dilakukan Ahok mendapat respon yang luar biasa dari publik, karena terbukti bahwa dengan pilkada langsung tidak ada dominasi partai dan tidak ada dominasi perlemen, melainkan didukung rakyat yang tentu sebelumnya telah dibuktikan dengan prestasi calon pemimpin itu sendiri. Apabila pilkada lewat DPRD, meski pemimpin itu berprestasi, tetapi belum tentu dipilih oleh para nggota DPRD.


Lalu kenapa ada partai politik yang menarik diri (dari KMP, Red), kemudian mendukung pilkada langsung? Menurut Romo Benny karena ada dukungan publik, jadi kalau partai tidak membaca realitas masyarakat, nantinya partai itu akan dihukum oleh masyarakat sendiri, akan ditinggalkan rakyat.


“Maka pilihan demokrat tidak hanya semata-mata ingin citra tetap dibangun, tetapi juga ingin mempertimbangkan keinginan rakyat dan tidak mau melukai suara rakyat,” ucap dia.


Setidaknya, ada dua catatan yang disebutkan Romo Benny. Pertama, kekuatan dari masyarakat ini harus dijaga. Kedua, sifat politik bangsa kita selalu dalam sejarahnya pragmatis, tidak ada koalisi yang permanen, karena itu ketika dari 34 komposisi kabinet yaitu 18 jatah partai politik, dan yang lain jatah profesional, maka terjadilah politik yang realistis.


Jadi sejarah politik kita selalu pragmatis dan transaksional, politik kita tidak punya ideologi, jadi jangan berharap partai di Indonesia akan menjadi oposisi murni, bahkan pilkada lewat DPRD itu sebenarnya merupakan kepentingan sejenak, ingin mencari kekuatan yang lebih besar.


Mengingkari Politik Fairness dan Etika Politik


Fenomena pilkada kembali kepada DPRD sebenarnya merupakan pengingkaran politik fairness, yaitu politik yang menjunjung tinggi kejujuran, kalau kalah terima kekalahan tetapi tidak akan merusak sistem.


“Yang terjadi saat ini kecenderungan politik kita adalah kepentingan, ketika kepentingannya tidak tercapai maka dia menghalalkan segala cara, sampai sistem pun diubah demi kepentingannya,” ucap Romo Benny.


Ketika bicara tentang etika politik, berarti kepatuhan kepada sistem. Jadi kalau partai-partai tidak patuh kepada sistem, berarti mereka melanggar etika politik itu.


“Jadi problem kita selama ini, etika politik selalu diargumentasikan untuk membela kepentingan politik, di mana konstitusi sebagai argumentasinya,” ujarnya.


Konstitusi berasal dari musyawarah mufakat, tetapi musyawarah mufakat pada konteks sekarang ini adalah apabila pemimpin dipilih oleh partai politik, maka partai memilih orang-orang yang telah membayar kepada partai. Maka, dari situ tidak akan didapatkan pemimpin, tetapi yang didapat adalah kepentingan partai. Sudah pasti di situ korupsi semakin merajalela.satuharapan.com

Penulis: