Politik

Max Lane: Tak Cukup Andalkan Figur Jokowi Semata


Max Lane: Tak Cukup Andalkan Figur Jokowi Semata
Max Lane menyampaikan ceramah ilmiah dalam acara yang bertajuk “Dari Aksi ke Ideologi: Pertarungan Baru Pasca 2014” di Auditorium Fakultas Filsafat, UGM pada Rabu (3/12). (Foto: Tunggul Tauladan)
YOGYAKARTA, PESISIRNEWS.com - Max Lane, seorang Indonesianis, berbicara panjang lebar dalam ceramah ilmiah di Auditorium Fakultas Filsafat, Universitas Gajah Mada (UGM). Ceramah yang disampaikan pada Rabu (3/12) di depan puluhan orang tersebut menyoal perbenturan ideologi, kepentingan, gerakan massa, hingga national building di Indonesia, sejak Orde Lama, Baru, hingga pasca 2014.

Max Lane menyampaikan ceramah ilmiah dalam acara yang bertajuk “Dari Aksi ke Ideologi: Pertarungan Baru Pasca 2014”. Menurut penulis buku Unfinished Nation ini, pasca Pemilu 2014, muncul berbagai pertarungan ideologis. Pertarungan ini menunjukkan bahwa national building di Indonesia sejatinya belum selesai. Pasalnya apa yang dipertarungkan semata-mata bertalian erat untuk mengakomodir kepentingan kelompok yang dibelanya.

“Dengan kemenangan Jokowi, politik akan terwarnai dengan pertarungan ideologis, yaitu pertarungan untuk menerima ekonomi pasar bebas dan demokrasi elektoral. Pertanyaannya, apakah Indonesia masih bisa menyelesaikan national building jika strukturnya masih seperti sekarang?” ungkap Dosen di Universitas Victoria, Australia ini.

Menurut Max Lane, hal terpenting yang harus dilakukan ke depan adalah perubahan struktur politik sosial. Pasalnya, mengandalkan figur Jokowi semata untuk menyelesaikan permasalahan bangsa, tidak akan pernah cukup. Oleh karena itu, ada dua hal yang harus dilakukan, yaitu penghentian kekayaan pada segelintir orang dan perbaikan soal demokrasi.

“Mengandalkan figur Jokowi saja tidak akan cukup untuk melakukan perubahan, namun perlu melakukan perubahan struktur politik. Oleh karena itu, menurut saya, ada dua hal penting yang harus dilakukan, meskipun tidak bisa dikatakan sebagai solusi. Pertama adalah menghentikan konsentrasi kekayaan pada segelintir orang. Pemerintah harus berani menaikkan pajak karena menjadi beban subsidi. Kedua adalah soal demokrasi. Selama ini, pemerintah lebih mengedepankan sikap represif terhadap gerakan-gerakan massa. Padahal gerakan-gerakan massa itu berhasil membangkitkan perubahan, bahkan menjadi pelopor ketika melawan pemerintah otoriter Soeharto,” jelas Max.

Menyoal gerakan massa, Max menilai bahwa gerakan massa yang terjadi pada era sekarang jauh lebih masif jika dibandingkan dengan era Orde Lama dan Baru. Namun sayangnya, gerakan massa tersebut sifatnya masih terpisah-pisah.

“Anak-anak Indonesia yang dewasa ini terlibat dalam gerakan massa, secara kuantitatif jauh lebih besar jika dibandingkan masa sebelumnya, yakni sejak Orde Lama hingga jatuhnya Soeharto. Namun, mereka ini masih terpencar-pencar. Dibutuhkan waktu yang lama bagi mereka untuk bisa mencapai persatuan yang benar-benar tangguh,” ungkap pria yang memiliki nama lengkap Maxwell Ronald Lane ini.

Maraknya gerakan massa di Indonesia hingga hari ini, yang sering bersikap revolusioner atau bahkan tidak terkontrol, menunjukkan bahwa sebenarnya masih banyak persoalan yang membelit bangsa. Dalam kacamata Max Lane, secara faktual, Indonesia memang telah menjadi nation tetapi belum menjadi bangsa seutuhnya karena masih banyak pekerjaan rumah yang belum selesai, bahkan semakin menumpuk.

“Gerakan massa adalah upaya rakyat untuk menuntut hak dan kepentingannya,” pungkas Max Lane (shc)
Penulis: