Politik

Mimpi Buruk Pragmatisme Politik


Mimpi Buruk Pragmatisme Politik

PESISIRNEWS.com - Pernyataan Samuel Koto dalam sebuah wawancara di TVRI beberapa waktu lalu seakan mewakili alam bawah sadar banyak politikus dan partai politik negeri ini. Menurut pengurus Partai Hanura itu, sikap parpol-parpol yang semakin pragmatis adalah sejarah yang tidak bisa ditolak. Masyarakat pun semakin terbuka dan menerima sikap pragmatis tersebut.


Jika kita sedikit mundur dan merefleksikan kembali pola perburuan mitra koalisi yang akhirnya membentuk dua poros untuk pemilu presiden (Jokowi – Jusuf Kalla dan Prabowo – Hatta Rajasa) rasanya tak sulit mencari bukti pembenar.


Pasar Bebas


Selain Partai Nasdem dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang sudah berkoalisi sejak hari-hari pertama pascapemilu legislatif, parpol-parpol lain memberlakukan prinsip pasar bebas (secara politik dan ekonomi) dalam mencari patner. Maka tak heran jika Gerindra akhirnya menemukan pasangan seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS).


Ditilik dari basis ideologi formal, tak ada unsur kimiawi yang bisa mempertemukan kedua partai tersebut. Yang satu bernuansa nasionalis ala Giovanni Gentile, dan yang satunya berkarakter ala Ikhwanul Muslimin.  Tak beda dengan model “politik silaturrahmi bolak-balik” Aburizal Bakrie dan sikap netral Partai Demorat yang juga bersemangatkan pragmatisme.


Mundur sedikit lagi, pragmatisme politik bebercak di setiap dinding pertemuan pemimpin parpol. Ingat forum koalisi politik Islam yang sempat bertemu di Cikini atas inisiatif Amien Rais? Belum lagi melewati 24 jam pascapertemuan, masing-masing parpol sudah berburu patron. Mungkin mereka sudah ragu bahkan sebelum pertemuan koalisi Islam itu dilakukan.


Koalisi pragmatis ini hanya menguantifikasi oportunisme partai. Ia tak menoleh pada kebajikan publik atau konstituennya. Suara publik yang dilabuhkan pada pemilu legislatif serta-merta dihempas begitu saja oleh koalisi pragmatis seperti saat ini. Maka tak heran jika banyak pendukung partai berang dengan model koalisi yang dilakukan secara semena-mena oleh pimpinan partainya.


Belum lagi pragmatisme menjelang pemilihan presiden. Aroma permusuhan dan fitnah disebar ke udara tanpa malu dan malu-malu. Isu Jokowi memiliki agama berbeda dari yang diketahui publik, termasuk iklan meninggal dunia dan prosesi kremasi (merujuk pada ritual agama tertentu) dilakukan demi memperburuk citra calon presiden yang kini palig populer itu.


Melalui model pengelolaan politik alam bawah sadar, politik dijadikan momentum untuk membunuh ingatan tentang tujuan reformasi. Hegelianisme politik berjalan negatif. Najis-najis politik yang seharusnya menjadi aib, ditonjolkan dalam narasi publik. Padahal dalam etika global, isu-isu rasisme-semitisme, primordialisme, dan sektarianisme dianggap haram, kini dibangkitkan demi kemenangan. Sulit menemukan kata tepat untuk menunjukkan bahwa model dan watak politik benar-benar sealur dengan paradigma Machiavellinistik, menghalalkan semua cara.


Maka, apakah kita masih percaya dengan retorika partai agama, ketika langgam politik yang dimainkan lebih sekuler dan profan dibandingkan partai sekuler sekali pun? Cinta kasih dan rahmatan lil alamin tidak menjadi wacana praksis, tapi hanya bahasa dalam AD/ART. Tidak berfungsi dalam interaksi dan relasi internal dan lintas-parpol.


Sampah Pragmatis


Buruknya kultur politik dan terlalu pekatnya pragmatisme sebenarnya bukan kutukan sejarah, meskipun sulit mencari sejarah lain. Semakin hari perilaku para elite semakin jauh dari cita-cita demokrasi dan etika politik. Memburuk-burukkan pihak lawan dan bersedia mengambil untung di setiap tetes turunnya kadar elektoral sang rival telah menjadi standar operasional prosedur (SOP) politik para politikus.


Hal ini menyimpulkan bahwa reformasi tidak meninggalkan cukup modal kebaikan substansial, kecuali hanya menggulingkan rejim Orde Baru secara fisik. Pada fase tertentu akhirnya terjebak menjadi delusif: mencela setinggi menara atau memuja dan mengidamkan rejim lama tumbuh kembali tanpa rasionalitas. Hanya histeria mabuk obat.


Perubahan sistem dan struktur politik belum memberikan sumbangan kultural dan mental. Bahkan, semakin banyak amandemen konstitusi dan perubahan undang-undang, semakin jauh bangsa ini dari genus karakter bangsa. Modul demokrasi subtansial agar perubahan lebih adil, bahagia, berimbang, dan bermartabat tidak tersedia. Paket perubahan tidak digali dari sejarah dan peradaban nasional dan sub-nasional.


Kini kita baru tersadar, dengan pelbagai produk perundang-undangan yang telah dilahirkan dan kemudian digugurkan Mahkamah Konstitusi menjadi bukti bahwa latih-tanding dan intelektualisme legislator kita sedemikian rendah dan kacangan. Betapa idealisme tidak ada di dada politikus dan pejabat. Definisi politik hanya sekitar bagi-bagi kekuasaan, melanjutkan elitisme dan oligarkisme, dan mengonversi kedaulatan negeri menjadi nilai ekonomis-bisnis. Tak ada perjuangan kemanusiaan yang adil dan beradab, karena muaranya hanya pastoralisme: demi kelompok dan sanak-saudara terdekat. Tidak ada komitmen kebangsaan, karena imajinasinya hanya kesukuan-bangsa (chiefdom) yang narsistis dan neurosis.


Karakter kebijakan nasional dan lokal tidak malah mendorong peningkatan kualitas demokrasi, tapi semakin destruktif, predatoris, dan hedonistis. Seperti membenarkan adagium bahasa Latin, Corruptissima re publica plurimae leges: semakin banyak produk hukum yang dihasilkan, semakin buruk dan korup wajah republik.


Seperti telah diduga banyak peneliti demokrasi, demokratisasi bangsa ini telah melaju pada rel yang salah, tidak bertemu di stasiun kesejahteraan. Kita gagal menimang normativitas demokrasi sebagai nilai fungsional. Alih-alih memaknai demokrasi dan menerjemahkannya ke dalam realitas dan konsep yang lebih khusus, makna demokrasi cenderung berputar liar dan keluar dari arena pemaknaan utamanya (Purwo Santoso et al, Securing The Pace and The Direction of Indonesian Democratization, 2010).


Sungguh, kita masih harus melewati mimpi buruk di malam-malam kelam pragmatisme politik yang dipertontonkan parpol dan politikus kita.(sh.c)


 


Penulis adalah antropolog Aceh.


Penulis: