Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal. (CNN Indonesia/Riva Dessthania Suastha)
Pemanggilan tersebut juga dimaksudkan untuk menyampaikan kekecewaan dan protes Indonesia terhadap pemerintahan Raja Salman, terkait eksekusi mati yang dilakukan tanpa notifikasi.
Padahal, notifikasi kekonsuleran merupakan salah satu hal yang perlu dilakukan negara-negara yang tergabung dalam Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Kekonsuleran.
Konvensi tersebut mengatur kewajiban setiap negara untuk menyampaikan kabar kepada perwakilan negara asing jika ada warganya terjerat kasus hukum di negara tersebut. Selain kasus hukum, notifikasi kekonsuleran juga wajib diberikan negara ketika mengetahui kabar kematian warga asing di negaranya.
Indonesia dan Saudi merupakan anggota konvesi tersebut. Namun, konvensi itu memang tidak mengatur kewajiban negara anggotanya untuk menyampaikan notifikasi terkait pelaksanaan hukuman mati bagi warga asing.
Tuti merupakan salah satu dari 16 WNI yang didakwa hukuman mati di Saudi.
Tuti ditangkap pada 2010 silam karena dituding membunuh sang majikan. Perempuan kelahiran 1984 itu diduga menghabisi majikannya dengan alasan membela diri dari upaya pelecehan seksual.
Iqbal mengatakan kasus Tuti sudah berkekuatan hukum tetap (inkrah) pada 2011 lalu. Namun, Iqbal mengatakan pemerintah terus berupaya meminta Saudi meringankan hukuman perempuan itu, termasuk mengusulkan peninjauan kembali kasus dan banding.
Iqbal mengatakan Presiden Joko Widodo juga telah mengirim surat sebanyak dua kali kepada Raja Salman terkait kasus Tuti.
"Namun otoritas Saudi tetap pada keputusan awalnya yaitu mengeksekusi mati Tuty," kata Iqbal.
Iqbal mengatakan pengampunan ahli waris korban dan ganti rugi (
diyat) tidak berlaku bagi Tuti, sebab perempuan itu divonis hukuman mati
had gillah atau mati mutlak.
Vonis tersebut merupakan yang tertinggi dalam konteks hukuman mati lantaran tidak bisa dimaafkan meski dengan pengampunan raja atau keluarga korban.
Sumber CNN Indonesia