Artikel

Media itu Anjing Penjaga, Bukan Pujangga Istana

pesisirnews.com pesisirnews.com
Media itu Anjing Penjaga, Bukan Pujangga Istana

Ilustrasi Gambar

Oleh : Hersubeno Arief

Media itu anjing penjaga ( watchdog) demokrasi, bukan humas,
apalagi pujangga istana. Sayangnya, bila kita amati secara seksama,
media di Indonesia saat ini fungsinya sudah berubah 180 derajat.


Media-media arus utama ( mainstream) kebanyakan sudah
menjadi alat penguasa. Mereka sangat galak dan rajin menggonggong kepada
kelompok oposisi dan masyarakat madani. Sebaliknya menjadi alat
legitimasi, berbagai kebijakan pemerintah. Dalam beberapa kasus, bahkan
menjadi bagian dari operasi mendeligitimasi oposisi.


Banyak fakta seputar ini. Yang paling kontroversial dan banyak
dibicarakan adalah aksi sejumlah media arus utama menenggelamkan
pemberitaan seputar Reuni 212. Peristiwa ini bisa menjadi studi dan pembahasan yang menarik tentang eksistensi media di Indonesia saat ini.


Banyak yang bertanya, mengapa media harus selalu bersikap kritis
terhadap pemerintah. Sebaliknya banyak juga yang berargumen, apa yang
salah media membela pemerintah?


Secara alami dan sisi idealisme, tugas media bukan membela
pemerintah. Itu adalah tugas humas pemerintah. Secara lugas pendiri
harian Kompas P.K. Ojong menyatakan: "Tugas pers bukanlah untuk menjilat
penguasa tapi untuk mengkritik yang sedang berkuasa."



Tugas media berbeda dengan para pujangga istana yang menggambarkan
para penguasa dan kroninya sebagai manusia sempurna. Manusia titisan
dewa, yang tak pernah salah, dan semua titahnya tak boleh ditentang.


Dalam negara demokrasi, kekuasaan itu harus dikontrol. Tanpa kontrol, kekuasaan yang besar akan cenderung menjadi korup. Power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely(Lord Acton). Media adalah salah satu elemen utama yang harus menjalankan peran itu.


Maka kemudian muncullah terminologi, media sebagai watchdog, demokrasi. Saking pentingnya media dalam negara negara demokrasi sampai disebut sebagai the fourth estate, pilar ke-empat demokrasi, di luar eksekutif, legislatif, dan yudikatif.


Sebagai pilar dia harus tegak dan kuat. Berdiri sama tinggi dengan
cabang-cabang kekuasaan lain, terutama eksekutif. Peran ini sangat
terasa pada awal kemerdekaan RI, sampai pada masa awal Orde Baru. Tirto
Adisuryo, Djamaluddin Adinegoro, dan Mochtar Lubis adalah beberapa nama
dari sederet tokoh yang bisa disebut sebagai ikon media pergerakan
seperti di Indonesia.


Pers Industri


Mengapa media di Indonesia seakan kehilangan elan vitalnya sebagai pengawal utama demokrasi? Era industri melumpuhkan semuanya.


Secara garis besar ada dua jenis media. Pertama, media yang dibangun oleh para wartawan dan berubah menjadi konglomerasi.


Masuk dalam kelompok ini adalah Kompas, Jawa Pos, Suara Merdeka, dan
Pikiran Rakyat. Kompas bahkan sudah tumbuh menjadi bisnis raksasa.
Memiliki percetakan dan toko buku, perhotelan, rumah sakit, radio,
televisi, sampai lembaga pendidikan.


Kedua, para pebisnis yang merambah konglomerasi media. Yang masuk
dalam kelompok ini adalah Emtek ( Indosiar, SCTV). Trans Corp (Trans TV,
Trans 7, CNN, CNBC, detik.com, CNN.com). Bakrie (Antv, Tv One), MNNC
(RCTI, Inews, MNC, Radio Trijaya, Koran Sindo, okezone.com). Media Group
(Metro TV, Media Indonesia). Mahaka Media ( Jak TV, Republika, jaringan
sejumlah radio).


Kedua jenis kelompok media itu, baik yang didirikan oleh mereka yang
berlatar belakang media, maupun konglomerasi, sangat sulit untuk
menerapkan pemisahan yang tegas antara bisnis dan independensi redaksi (firewall theory).


Sisi idealisme, terutama di kalangan wartawan, harus tunduk oleh kepentingan bisnis dan politik para pemilik media.


Sisi ini yang dengan jeli dimanfaatkan oleh penguasa. Mereka dengan
mudah ditaklukkan melalui pendekatan dan tekanan politik, hukum, maupun
bisnis. Posisi tawar wartawan sangat lemah di era pers industri. Belum
lagi faktor banyak wartawan masuk ke media tak lebih karena tuntutan
ketersediaan lapangan kerja. Era wartawan aktivis, nampaknya sudah
berlalu.


Kompromi kelompok media yang membesar menjadi bisnis bukan hal baru
dalam politik Idonesia. Wartawan senior Jus Soema di Pradja bercerita
bagaimana dia kemudian memutuskan untuk mengundurkan diri dari harian
Kompas.


Pada 26 Januari 1976 sejumlah pemimpin media yang dibreidel, termasuk
Pemimpin Redaksi Kompas Jacob Oetama menandatangani perjanjian dan
menulis surat kepada penguasa Orde Baru Soeharto. Pada garis besarnya
dalam surat tersebut, mereka akan mentaati semua garis kebijakan Orde
Baru. Singkat kata tak akan lagi bersikap kritis.


Jus sempat mendatangi kediaman Jacob di kawasan Pejompongan, Jakarta.
Dia mempertanyakan sikap Jacob yang dianggap mengkhianati independensi
dan sikap kritis terhadap penguasa. "Bung mau dikemanakan 2.500 orang
karyawan kita," tanya Jacob.


Saat itu Kompas
sudah punya 32 unit usaha. Majalah bobo, intisari, Midi, penerbitan
buku Gramedia, sampai Unit Gramedia Film. Hanya beberapa hari setelah
itu, Jus mengundurkan diri karena menganggap tugas media sudah selesai.


Kompas terus tumbuh menjadi kelompok usaha besar karena pilihan
kebijakan redaksinya. Indonesianis Benedict Anderson menyebut Kompas
sebagai "Koran Orde Baru yang Sempurna." (Sen, Hill : 1995).


Jurnalisme meliuk, dengan swasensor ( self censorship) yang ketat. Slaman, slumun, slamet, kata orang Jawa.


Para pemilik media ini lupa, saat ini _stakeholder_ media yang
terpenting itu bukan lagi penguasa. Tapi pembaca yang berdaya dan sudah
tercerahkan.


Kompromi-kompromi politik para pemilik media dan penguasa saat ini diimbangi oleh munculnya media non-mainstream, dan menguatnya media sosial.


Banyak muncul wartawan maupun penulis yang tetap menjunjung tinggi,
kredo media sebagai anjing penjaga. Mereka memanfaatkan fenomena media
non arus utama dan medsos sebagai bentuk perlawanan terhadap penguasa
dan media pendukungnya.


DR Syahganda Nainggolan, aktivis dari ITB yang keluar masuk penjara di masa Orde Baru menyebut mereka sebagai "orang-orang Merdeka."


Fenomena munculnya media maupun penulis alternatif ini tidak bisa dipandang remeh oleh media mainstream
maupun penguasa. Sebuah survei yang digelar oleh Daily Media,
menunjukkan jumlah pengguna media sosial kian membesar, sementara media
konvensional, terutama media cetak, kian ditinggalkan. end

Penulis: Haikal

Sumber: https://www.hersubenoarief.com/artikel/media-itu-anjing-penjaga-bukan-pujangga-istana/