Peristiwa terbaru yang juga viral, ketika Jokowi berkunjung ke Pekanbaru, Riau, Ahad (16/8). Sejumlah remaja dengan santainya ber-wefie dua jari di depan Jokowi. Padahal saat itu Jokowi dikawal dua petinggi Badan Intelijen Negara (BIN), yang seharusnya sangat ditakuti.
Kepala BIN Budi Gunawan yang mengenakan baret merah marun dengan empat bintang, dan Wakil Kepala BIN Teddy Lhaksamana yang mengenakan baret yang sama dengan tiga bintang, serta para anggota Paspampres hanya diam tak berdaya.
Bagaimana kita memahami peristiwa semacam ini? Apakah ini tanda-tanda lembaga kepresidenan dan lembaga-lembaga keamanan negara sudah kehilangan tuah dan wibawanya?
Apakah ini cara generasi milenial, daniGeneration, —untuk mudahnya kita sebut sebagai generasi digital— melakukan perlawanan sosial terhadap penguasa dan kekuasaan. Mereka melakukan dekonstruksi dengan santai dan tertawa-tawa. Iseng, tapi mereka terlihat sangat sadar dan berani secara terbuka mengekspresikan pilihan politiknya.
Bukan hanya Jokowi yang menjadi sasaran. Kyai Ma'ruf Amin yang sudah sepuh juga tak luput dari aksi jail mereka. Seorang anak muda dengan santainya terlihat minta foto bersama dan kemudian mengacungkan salam dua jari. Di sebelahnya Kyai Ma'ruf yang mengacungkan satu jari hanya bisa terbengong-bengong melihatnya.
Pembangkangan sipil, pembangkangan sosial
Dalam literatur politik, aksi-aksi generasi digital itu bisa dilihat dalam perspektifpembangkangan sipil(civil disobedience). Seorang teman mengusulkan lebih tepat disebut sebagai pembangkangan sosial (social disobedience).
Social disobedienceterjadi karenasocial distrust(pemimpin tidak lagi dipercaya) dansocial disorder(penegak hukum yang tidak adil dan aparat negara yang memihak penguasa).
Istilahcivil disobediencepertama kali dikenalkan oleh seorang penulis dan filsuf Amerika Henry David Thoreau (1817-1862). Pembangkangan sipil adalah seruan untuk bertindak bagi semua warga negara untuk menolak berpartisipasi, atau mendorong dengan cara apa pun, sebuah lembaga negara yang tidak adil.
Aksi ini dipicu oleh kemarahan Thoreau terhadap perbudakan, dan perang Amerika-Meksiko. Inti dari gerakan ini adalah perlawanan tanpa kekerasan. Karena itu disebut sebagai pembangkangan sipil.
Aksi ini kemudian mengilhami gerakan-gerakan besar lain di dunia. Di India Mahatma Ghandi memperkenalkan aksi perlawanan damai yang dikenal dengan nama Satyagraha.
Aksi Ghandi dimulai ketika dia dilempar keluar dari sebuah gerbong kereta api dalam perjalanan dari Durban-Johanesburg, Afrika Selatan karena dia menempati gerbong yang diperuntukkan khusus warga kulit putih. Padahal dia punya tiket kelas satu, dan berpakaian rapih. Kesalahannya, dia bukan kulit putih.
Di Afrika Selatan gerakan ini kemudian berlanjut aksi anti apharteid (pemisahan warga berdasarkan ras), dipelopori oleh Nelson Mandela.
Di Indonesia perlawanan semacam ini dilakukan masyarakat Samin yang berada di perbatasan Jateng, dan Jatim (Blora, dan Bojonegoro). Mereka melakukan perlawanan tanpa kekerasan, dalam bentuk menolak membayar pajak, dan menolak mentaati semua aturan yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda dan Jepang.
Dalam sejarah modern Indonesia, pembangkangan sosial terasa membesar pada masa pemerintahan Jokowi. Indikasinya bisa terlihat pada gagalnya program tax amnesty, masyarakat menolak hadir pada acara-acara resmi yang dihadiri Jokowi, dibocorkannya surat-surat resmi pengerahan massa oleh aparatur sipil negara (ASN), dan bocornya bukti permintaan sumbangan untuk kampanye Jokowi-Ma'rufdan tentu saja aksi mengejutkan pemberian kartu kuning kepada Jokowi oleh Ketua BEM Universitas Indonesia Zaadit Taqwa masuk dalam kelompok ini.
Yang paling fenomenal dari pembangkangan sosial terhadap Jokowi dan rezim pemerintahannya adalah Aksi Bela Islam 212, dan reuninya selama dua tahun berturut-turut. Tekanan, ancaman, stigma,pembentukan opini,boikot,black out,framingmedia, bahkan teror bom, tidak menyurutkan jutaan orang berkumpul di Monas menunjukkan ekspresi mereka: Perlawanan tanpa kekerasan!
Bagi Jokowi, fenomena pembangkangan sosial dari generasi Y dan Z ini bisa menjadi dilema pelik dan tantangan besar untuk mempertahankan jabatannya. Pendekatan represif, penggunaan alat-alat kekuasaan yang berlebihan untuk menekan lawan politik, bukanlah jawaban.
Generasi digital punya gaya sendiri dalam melakukan perlawanan. Beda zaman, beda gaya. Namun intinya tetap sama. Jangan diremehkan. end