Artikel

Bunuh Diri Massal Pers Indonesia Jilid II

pesisirnews.com pesisirnews.com
Bunuh Diri Massal Pers Indonesia Jilid II

Oleh : Hersubeno Arief


Tanda-tanda pers Indonesia sedang melakukan bunuh diri massal, semakin nyata. Pemberitaan media massa tentang Reuni 212
yang berlangsung di Monas Ahad (2/12), membuka tabir yang selama ini
coba ditutup-tutupi. Kooptasi penguasa, kepentingan ideologi, politik
dan bisnis membuat pers menerapkan dua rumus baku, framingdanblack out.


Peristiwa besar
yang menjadi sorotan media-media internasional itu sama sekali tidak
"menarik" dan tidak layak berita, bagi sebagian besar media nasional
yang terbit di Jakarta.


Sejumlah
pembaca Harian Kompas pada Senin (3/12) pagi dibuat terkejut ketika
mendapati koran nasional itu sama sekali tidak memuat berita jutaan
orang yang berkumpul di Monas. Halaman muka Kompas bersih dari foto,
apalagi berita peristiwa spesial tersebut.


Setelah dibuka satu persatu, peristiwa super penting itu ternyata
terselip di halaman 15. Dengan judul "Reuni Berlangsung Damai" Kompas
hanya memberi porsi berita tersebut dalam lima kolom kali seperempat
halaman, atau sekitar 2.500 karakter. Tidak ada foto lautan manusia yang
menyemut dan memadati kawasan Monas dan sekitarnya.



Bagi Harian Kompas peristiwa itu tidak penting dan tidak ada nilai beritanya (news value).
Halaman 15 adalah halaman sambungan, dan topiknya tidak spesifik. Masuk
kategori berita dibuang sayang. Yang penting ada. Karena itu namanya
halaman "umum." Masih untung pada bagian akhir Kompas mencantumkan
keterangan tambahan "Berita lain dan foto, baca di KOMPAS.ID.


Kompas memilih berita utamanya dengan judul "Polusi Plastik
Mengancam." Ada dua berita soal plastik, dilengkapi dengan foto seorang
anak di tengah lautan sampah plastik dalam ukuran besar. Seorang pembaca
Kompas yang kesal, sampai membuat status "Koran Sampah!"


Halaman
muka Harian Media Indonesia milik Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh
juga bersih dari foto dan berita Reuni 212. Mereka memilih berita utama
dengan judul " PP 49/2018 Solusi bagi Tenaga Honorer."


Harian
Sindo Milik Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoe memilih berita
utamanya " Pesona Ibu Negara di Panggung G-30" dengan foto-foto mereka
dalam ukuran besar. Koran Tempo memilih berita utama "Menuju Ekosistem
Digital" yang ditampilkan dalam seluruh halamannya.


Hanya Koran Rakyat Merdeka, Republika yang memuat berita dan foto
peristiwa Reuni 212 di halaman muka. Rakyat Merdeka menulis Judul "212
Makin lama, Makin Besar Kenapa Ya?." Republika menulis Judul "Reuni 212
Damai." Sementara Harian Warta Kota memuat foto lepas, suasana di Monas
dengan judul berita yang dengan berita utama yang sangat besar "Ketua RW
Wafat Usai Reuni."


Agenda Setting


Dengan mengamati berbagai halaman muka media, kita bisa mendapat
gambaran apa terjadi di balik semua itu? Media bersama kekuatan besar di
belakangnya, tengah melakukan agenda setting.


Mereka membuat sebuah skenario menenggelamkan peristiwa Reuni 212, atau setidaknya menjadikan berita tersebut tidak relevan.


Operasi semacam ini hanya bisa dilakukan oleh kekuatan besar, dan melibatkan biaya yang cukup besar pula.


Target pertama black outsepenuhnya. Jangan sampai berita
tersebut muncul di media. Untuk kasus pertama ini kelihatannya tidak ada
media yang berani mati dan mengabaikan akal sehat.


Reuni 212 terlalu besar untuk dihilangkan begitu saja. Kasusnya jelas
berbeda dengan unjukrasa Badan Eksekutif Media Se-Indonesia (BEMSI),
dan ribuan guru honorer yang berunjuk rasa ke istana beberapa waktu
lalu. Pada dua kasus itu mereka berhasil melakukan black out.


Target kedua, kalau tidak bisa melakukan black out, maka
berita itu harus dibuat tidak penting dan tidak relevan. Apa yang
dilakukan Kompas, dan Media Indonesia masuk dalam kategori ini.


Target ketiga, diberitakan, namun dengan toneyang datar dan
biasa-biasa saja. Contohnya pada Republika. Meski dimiliki oleh Ketua
Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf, harap diingat latar belakang koran
ini adalah milik umat. Tidak mungkin mereka menempatkan berita ini di
halaman dalam, apalagi menenggelamkannya.


Bisa dibayangkan apa yang terjadi, bila Republika berani mengambil
posisi seperti Kompas? Ketika Erick memutuskan bersedia menjadi ketua
tim sukses saja banyak pembaca yang sudah mengancam akan berhenti
berlangganan. Apalagi bila sampai berani melakukan black outdan framingterhadap berita Reuni 212. Wassalam.


Target keempat tetap memberitakan, tapi dengan melakukan framing,
pembingkaian berita. Reuni memakan korban. Contohnya adalah Warta Kota
yang membuat judul "Ketua RW Wafat Usia Reuni." Berita ini jelas
terlihat sangat dipaksakan. Satu orang meninggal di tengah jutaan orang
berkumpul, menjadi berita yang menarik dan penting? Sampeanwaras?



Hal yang sama jika kita amati juga terjadi di media online dan
televisi. Hanya TV One yang tampaknya mencoba tetap menjaga akal sehat
di tengah semua kegilaan. Mereka masih memberi porsi pemberitaan yang
cukup layak dan melakukan siaran langsung dari Monas.


Tidak perlu orang yang punya pengalaman di media untuk memahami semua
keanehan yang kini tengah melanda sebagian besar media arus utama
Indonesia.


Berkumpulnya jutaan orang dari berbagai penjuru kota di Indonesia,
dan juga kota-kota dunia di Lapangan Monas, apalagi pada masa kampanye,
jelas merupakan berita besar. Tidak alasan untuk tidak memuat, apalagi
mengabaikannnya.


Bagi kalangan media peristiwa itu jelas memenuhi semua syarat
kelayakan berita. Mau diperdebatkan dari sisi apapun, pakai ilmu
jurnalistik apapun, termasuk ilmu jurnalistik akherat, atau luar angkasa
(kalau ada), Reuni 212 jelas memenuhi semua syarat.


Luasnya pengaruh (magnitude), kedekatan (proximity), aktual (kebaruan), dampak (impact), masalah kemanusiaan (human interest) dan keluarbiasaan (unusualness), adalah rumus baku yang menjadi pegangan para wartawan.


Permainan para pemilik dan pengelola media yang berselingkuh dengan
penguasa ini jelas tidak boleh dibiarkan. Mereka tidak menyadari sedang
bermain-main dengan sebuah permainan yang berbahaya. Dalam jangka pendek
kredibilitas media menjadi rusak. Masyarakat akan kehilangan
kepercayaan. Mereka akan ditinggalkan.


Di tengah terus menurunnya pembaca media cetak, tindakan itu semacam
bunuh diri, dan akan mempercepat kematian media cetak di Indonesia.
Dalam jangka panjang rusaknya media dan hilangnya fungsi kontrol
terhadap penguasa, akan merusak demokrasi yang kini tengah kita bangun.


Masyarakat, aktivis, wartawan, lembaga-lembaga kewartawanan seperti
PWI, AJI, IJTI, maupun lembaga-lembaga seperti Komisi Penyiaran
Indonesia, dan Dewan Pers tidak boleh tinggal diam. Terlalu mahal harga
yang harus dibayar bangsa ini, karena medianya larut dalam konspirasi
dan dikooptasi. end

Penulis: Haikal

Sumber: https://www.hersubenoarief.com/artikel/bunuh-diri-massal-pers-indonesia-jilid-ii/