Ekbis

Perang Ukraina dan Krisis Utang di Negara-negara Berkembang yang Makin Mengkhawatirkan


Perang Ukraina dan Krisis Utang di Negara-negara Berkembang yang Makin Mengkhawatirkan

Ilustrasi: Utang negara-negara berkembang dalam dolar AS makin membengkak akibat krisis ekonomi global. (Int)

(Pesisirnews.com) - James Swanston, pakar pasar global di Capital Economics di London, mengatakan perang Ukraina telah mempersulit negara-negara berkembang untuk membayar utang luar negeri mereka.

Pada saat kekhawatiran tentang potensi krisis meningkat, ekonomi global dapat terkena pukulan yang jauh lebih besar lagi.

Perang Ukraina dan krisis ekonomi

Melansir The Wall Street Journal, Jumat, selama dekade terakhir utang telah menumpuk di banyak negara berkembang, dengan inflasi dan suku bunga rendah.Kondisi tersebut diperparah dengan pengeluaran terbesar dalam menghadapi pandemi Covid-19.

Ketika harga makanan dan bahan bakar mulai naik karena invasi Rusia dan sanksi Barat terhadap Rusia, sebagian besar bank sentral mengambil langkah untuk menaikkan suku bunga untuk membendung inflasi.

Pejabat di negara-negara seperti Pakistan, Argentina, Mesir dan Tunisia berupaya untuk menaikkan harga impor untuk membayar utang di tengah epidemi.

Sri Lanka baru-baru ini mengumumkan bahwa mereka tidak mampu membayar kembali pinjaman luar negeri. Negara itu juga telah meminta bantuan keuangan darurat dari Dana Moneter Internasional (IMF).

Kementerian keuangan Sri Lanka mengatakan tidak dapat membayar kembali pinjaman karena epidemi, dampak perang Ukraina dan penurunan pendapatan dari sektor pariwisata.

Krisis di Sri Lanka dan Pakistan

Situasi di Sri Lanka dan Pakistan adalah contoh bagaimana risiko yang dihadapi negara-negara berkembang yang lemah. Krisis politik besar telah meletus di kedua negara sejak invasi Rusia ke Ukraina.

Menurut bank sentral, analis dan IMF, cadangan devisa kedua negara telah jatuh sangat rendah sehingga mereka hanya akan mampu membayar harga impor untuk satu atau dua bulan ke depan.

Protes massal telah dimulai dalam krisis ekonomi di Sri Lanka. Orang-orang di negara itu memulai protes ini terhadap pelepasan beban yang terus-menerus, kekurangan kebutuhan sehari-hari yang penting seperti obat-obatan dan gas.

Menurut penyedia data CEIC, inflasi tahunan Sri Lanka adalah 18,5 persen pada Februari.

Selama dekade terakhir, pinjaman pemerintah dari proyek infrastruktur sangat besar. Tahun ini saja, 6 miliar dolar AS harus dilunasi, dan obligasi akan jatuh tempo menjadi 1 miliar dolar AS pada bulan Juli. Tetapi negara ini hanya memiliki cadangan devisa 2,3 miliar dolar.

Halaman :
Penulis:

Editor: Anjar